spot_imgspot_imgspot_img
Rabu, September 11, 2024
spot_imgspot_imgspot_img
BerandaSASTRACerpenSi Tuli di Mambulu

Si Tuli di Mambulu

Karya: Ratna Dea Febrianti

“Ahh … ini tidak mungkin!”

“Ada apa, Yah? Kenapa Ayah berteriak?” sahut seorang wanita berlari ke sumber suara.

“Istriku, maaf aku tidak bisa mempertahankan bisnis kita, maaf … maaf …” ucap pria paruh baya itu sambil menangis.

“Kenapa dengan bisnis kita, Yah? Ada apa?”

“Mereka semua telah habis dilahap si jago merah. Rumah beserta aset-aset terlanjur Ayah gunakan sebagai jaminan ke bank. Kita telah bangkrut … Bangkrut istriku,” lirih pria paruh baya itu. Mendengar semua itu sang istri seketika terduduk lemas.

Drtttt… drtttt … drtttt… drtttt…

Getaran ponsel pria paruh baya tiba-tiba berbunyi nyaring memenuhi ruangan yang mulanya sunyi. “Iya, halo?” Seketika raut wajah yang tadinya sedih kini semakin menjadi muram.

“Ayah, siapa yang telpon?” tanya sang istri.

“Devan … kecelakaan, bu.”

Baca Juga : Ayahku (Tidak) Kejam

Sang istri terkejut. “Ayah … bohong, `kan?” sambarnya dengan suara semakin melemah hingga ia kehilangan kesadarannya.

“Maafkan aku istriku, semua salahku,” batinnya sambil memindahkan tubuh istrinya ke dalam kamar. “Mbok… Mbok.. Mbok tolong urus istri saya dia pingsan, saya mau ke rumah sakit sebentar.”

“I-iya, pak. Iya, baik pak.”

Setibanya di rumah sakit, pria paruh baya langsung menuju ruang tunggu. Dia menunggu dengan cemas dan perasaan khawatir.

Krietttt …

Pintu UGD akhirnya terbuka setelah beberapa jam lamanya.

Pria paruh baya segera menghampiri pintu UGD yang terbuka dan menampilkan sosok pria paruh baya yang mengenakan pakaian medis. “Apakah anda ayah dari anak itu?”

“I-iya dok … saya ayahnya.”

“Baiklah, mari pak ikut ke ruangan saya, ada beberapa hal yang harus saya jelaskan.”

Setibanya mereka di ruangan dokter.

“Jadi, begini pak, kecelakaan ini membuat pasien kehilangan pendengarannya. Tapi bapak tidak perlu hawatir dia masih bisa mendengar jika menggunakan alat bantu.”

“Apa tidak ada cara lain dok, untuk mengembalikan pendengaran putraku?”

“Hanya itu pak yang dapat membantunya, berikut rekomendasi alat bantu pendengaran untuk putra bapak.”

“Baik dok, terimakasih”

Tiga tahun berlalu. Setelah semua aset keluarga itu disita bank, mereka  memutuskan untuk pindah ke desa kelahiran sang istri yang terletak di Mambulu, salah satu desa di provinsi Jawa Timur.

“Maafkan ayah hanya bisa membeli rumah sederhana ini untuk tempat tinggal sementara kita.”

“Tidak apa Yah, kita mulai lagi dari awal ya,” jawab sang istri dengan tulus.

Sang anak hanya tersenyum melihat gerak bibir kedua orang tuannya yang tengah berbincang itu. Karena uang yang mereka miliki tidak cukup untuk membeli alat bantu pendengar, akhirnya mereka memutuskan untuk mengajarkan putra mereka dialog melalui gerak-bibir. Devan yang memang terlahir cerdas, membuatnya tak butuh waktu lama untuk menguasainya.

Baca Juga : Indonesiaku Kampung Lautan Susu (Part I)

“Dev, besok kamu sudah bisa mulai sekolah kembali, ibu sudah daftarkan di SMA Cendikia.” Senyuman tulus ditampilkan Devan sebagai jawaban.

Pagi pun menjelang, Devan bersiap-siap. Setiap hari Devan berangkat ke sekolah ditemani oleh Bayu, anak dari majikan tempat ayahnya bekerja. Mereka pun menjadi akrab. Tak terasa waktu pun berlalu begitu cepat, kini mereka telah duduk dibangku kelas dua belas.

“Dev, setelah lulus loe mau daftar kerja dimana?”

“Dev, Devan! Loe denger gue kan? Upss… lupa loe kan gak bisa denger ya. Merepotkan aja temen gue satu ini masak iya setiap kali bicara sama lo harus dengan pelan-pelan biar bisa baca gerakan bibir-gue. Kadang gue itu najis tau loe liatin bibir gue. Ahhh …  sudahlah loe gak bakal dengar gue juga,” gerutu Bayu, alhasil Bayu pun menepuk bahu sahabatnya yang tengah serius membaca itu. Devan pun memandang orang yang tengah mengganggu waktunya itu.

“Dev, setelah lulus loe mau daftar kerja dimana?” tanya ulang Bayu.

Gue mau lanjut kuliah di Harvard University jurusan bisnis,” jawabnya lirih dengan senyuman penuh arti.

Wkwkwkwkwk … Dev, loe gak lagi ngelawak, `kan? Loe bercanda, `kan? Tau `kan gaji bokap loe yang kerja di rumah gue? Itu gak akan cukup, walaupun bokap loe kerja seumur hidup tetep gak akan cukup, Dev! Hahaha … terus dengan keadaan loe sekarang ini. Lucu banget deh temen gue satu ini, hahahahaha ….”

Baca Juga : Indonesiaku Kampung Lautan Susu (Part II)

Seketika itu ruang kelas yang tadinya sunyi menjadi penuh tawa akibat ucapan sahabat Devan itu.

“Udah t*li, anak buruh  pula, mau sok-sok-an kuliah diluar negeri. Cihhh.. gak tau malu banget!” sahut Dita, salah seorang teman sekelasnya sambil berjalan keluar kelas.

Mendengar hal itu, Bayu menatap tak suka. Meskipun terkadang dia sendiri suka mengolok-olok Devan namun tidak sampai mengatakan Devan t*li. Dia mengatakan hal tadi agar sahabatnya itu tidak bermimpi terlalu tinggi. Dia hanya tidak ingin sahabatnya kecewa karena tidak mampu meraihnya.

Devan yang tidak mendengar apapun hanya melihat sekilas teman-temannya itu dan tersenyum kepada mereka. Setelah itu ia pun kembali membaca buku dalam genggamannya yang sempat terjeda. Semenjak kejadian itu dia pun selalu menjadi olok-olokan teman-temannya di sekolah. Tak hanya teman bahkan beberapa guru dan tetangganya pun ikut mengolok-oloknya serta memandang rendah dirinya dan keluarganya.

Suatu hari Devan menemukan sebuah dompet yang terjatuh. Lalu ia membawa dompet tersebut pada orang bule yang terlihat kebingungan. Seolah-olah dia sedang mencari barangnya yang hilang.

“Excuse me, sir. Is this your wallet?” tanya Devan kemudian.

“Yes right, where your find him?”

Tak ada jawaban yang didapat bule itu. Devan malah mengulurkan dompet itu.

“What`s your name?” Lagi-lagi orang bule itu kembali bertanya namun tidak mendapatkan jawaban juga.

“See you, sir,” pungkas Devan sambil berlalu meninggalkan orang bule itu.

Weird kid!” Bule itu pun melanjutkan perjalanannya yang tertunda.

Hari senin pun tiba. Upacara bendera digelar seperti halnya sekolah-sekolah lainnya. Hingga tiba di mana pengumuman mengenai program pertukaran guru yang setiap 2 tahun sekali dilakukan oleh sekolah.

“Hello everyone my name is Mr. Marchel, l am  from America. I will be teaching English here. Nice to meet you.”

Semua murid kompak menjawab. “Nice to meet you too.”

“Baik murid-murid, semua tadi perkenalan singkat dari Mr. Marchel. Beliau berasal dari Amerika. Di sana beliau mengajar Bahasa Indonesia tapi di sini beliau akan mengajar Bahasa Inggris. Baik cukup sekian pengumuman kali ini. Barisan dibubarkan dan untuk semuanya kembali ke kelas masing-masing.”

Brakk

Devan yang ingin kembali ke kelas tak sengaja menabrak Mr. Marchel yang tengah berjalan ke ruang kelas 11.

“Saya minta maaf pak, saya bener-bener tidak lihat.”

“Tak apa, lain kali hati-hati, ya.”

Sementara itu, bu Wati yang mendengar kegaduhan langsung menuju sumber suara.

“Astaga! Ada apa ini, pak Marchel? Lagi-lagi ulah kamu, Devan! Dasar anak t*li bikin ulah mulu,” cerocos bu Wati pada Devan yang hanya diam bak patung hidup.

“Sudah bu, saya tak apa. Kamu bisa kembali ke kelas nak.”

Devan pun kembali ke kelasnya.

“Tunggu! Bukannya guru tadi bilang dia t*li, pantas saja waktu itu aku bertanya dia diam saja,” batin Mr. Marchel.

Waktu kelulusan pun tiba, semua siswa kelas 12 di SMA Cendikia mengenakan pakaian toga dengan ditemani orang tuannya masing-masing.

“Berikut nama-nama siswa berprestasi tahun ajaran 2017 di SMA Cendikia. Dan penghargaan tersebut jatuh kepada Devan Putra Pratama, Nabila Dwi Wulandari, dan Radefa Alexandra. Untuk nama-nama yang saya sebutkan dimohon naik ke ataa panggung.”

Tak disangka hadiah yang diberikan kepada Devan tidak hanya uang dan piala namun juga alat bantu pendengaran sebagai salam perpisahan khusus dari Mr. Marchel.

Suara tepuk tangan menggema di aula serta ucapan haru dan bangga kedua orang tua Devan pada putra semata wayangnya itu diiringi air mata bahagia.

Dua tahun berlalu Devan menunggu pengumuman penerimaan mahasiswa baru di Amerika. Dia menunggu kabar baik, namun tak kunjung ia dapatkan. Sudah dua kali ini dia gagal masuk ke sana namun ia tak pernah menyerah. Walaupun setiap kegagalannya itu semakin hari semakin menambah daftar orang yang meremehkan dan menertawakannya namun ia tetap tidak menyerah. Alhasil tepat yang ketiga kalinya ia pun akhirnya berhasil bahkan tak hanya masuk sebagai mahasiswa baru ia juga mendapat kesempatan untuk menerima beasiswa dari Amerika.

“Ayah.. ibu… Devan diterima di Harvard University jurusan bisnis dengan beasiswa penuh. Lihat saja Devan akan jadi pengusaha yang sukses.”

“Benarkah, nak? Alhamdulillah,” jawab orang tua Devan bersamaan. Mereka pun memeluk anaknya bergantian.

 

Jombang, 5 November 2021

Editor: Fira Kumala Devi

166 KOMENTAR

  1. Study shows how the pandemic may have affected teens’ brains
    kra10.gl

    The pandemic’s effects on teenagers were profound — numerous studies have documented reports of issues with their mental health, social lives and more.

    Now, a new study suggests those phenomena caused some adolescents’ brains to age much faster than they normally would — 4.2 years faster in girls and 1.4 years faster in boys on average, according to the study published Monday in the journal Proceedings of the National Academy of Sciences.

    By being the first to contribute details on aging differences by sex, the study adds to the existing body of knowledge provided by two previous studies on the Covid-19 pandemic and accelerated brain aging among adolescents.
    https://kra10.gl-kra10.cc
    кракен магазин
    “The findings are an important wake-up call about the fragility of the teenage brain,” said senior study author Dr. Patricia K. Kuhl, the Bezos Family Foundation Endowed Chair in Early Childhood Learning and codirector of the Institute for Learning and Brain Sciences at the University of Washington in Seattle, via email. “Teens need our support now more than ever.”

    Significant socioemotional development occurs during adolescence, along with substantial changes to brain structure and function. The thickness of the cerebral cortex naturally peaks during childhood, steadily decreases throughout adolescence and continues to decrease through one’s lifespan, the authors wrote.

    The researchers originally intended to track ordinary adolescent brain development over time, starting with MRIs the authors conducted on participants’ brains in 2018. They planned to follow up with them for another scan in 2020.

    The pandemic delayed the second MRI by three to four years — when the 130 participants based in Washington state were between ages 12 and 20. The authors excluded adolescents who had been diagnosed with a developmental or psychiatric disorder or who were taking psychotropic medications.

  2. Meet the artist transforming tennis balls into furniture
    блэк спрут официальный сайт

    In the last two years, tennis has taken over our closets (court-appropriate garb can be found everywhere from Skims to Miu Miu), our screens (who could forget Zendaya’s turn as the tennis protoge-turned-elite-coach Tashi Duncan in “Challengers”) and now — our living rooms.

    At least that is the hope of Belgian eco-designer Mathilde Wittock, who fashions bespoke furniture from discarded tennis balls. Wittock’s sleek, modernist chaise longues are entirely cushionless — save for the padding of 500 precisely arranged tennis balls. Her one meter-long benches are similarly sparse, with some 270 balls being both stylish and structurally substantial.

    https://bs2siteat.net
    blackspruty4w3j4bzyhlk24jr32wbpnfo3oyywn4ckwylo4hkcyy4yd.onion
    “It takes around 24 different manufacturing steps to (make) a tennis ball, which is around five days. Then it has such a short lifespan,” Wittock told CNN in a video call from Brussels. “I was looking into tennis balls because I played tennis myself, so I know there is a lot of waste.”
    Around 300 million tennis balls are produced each year — and almost all of them end up in landfills, taking over 400 years to decompose. The US Open, which ended at the weekend, goes through around 70,000 each year, with Wimbledon not far behind at 55,000. Wittock estimates the lifecycle of a ball stands at just nine games, depending on the level of tennis being played. “Even if they are contained in their box, if the box has been opened the gas inside the tennis balls will be released over time,” she said. “(Eventually) they will get flat and you’ll have to throw them away.”

  3. Actress Gemma Arterton says director tried to pressure her to do sex scene
    kra4 gl

    British actress Gemma Arterton has revealed that a director once tried to put pressure on her to film a sex scene, despite the fact that it wasn’t included in the script.

    In an interview with British publication the Radio Times, released Tuesday, Arterton said that, whilst on set, the director – who hasn’t been named – instructed her and her co-star to film a sex scene on a bed.

    “I said, ‘No, this scene was written for us to be off screen, so you just hear the noises,’” Arterton told the Radio Times. “I’d never have accepted the role if it was going to be filmed.”

    https://kraken8-gl.cc
    kra12.gl

    The actress said that she was pressured by the director to film the scene, but that she “flat out” refused to take part in it.

    Had she been younger at the time, Arterton suggested that she might have been more concerned about being fired for refusing to film it.

    “I only felt like I could say that because I was older,” she said.
    “When I started acting, there was a lot of nudity – you were just expected to do it. When I was younger I played sexy characters, the girlfriend. As I’ve got older, that’s changed because I’m more successful and can choose the parts I want to play,” she said.

    She praised the use of intimacy coordinators in film and television since the #MeToo movement, telling the magazine that “it’s a totally different landscape” now.

    “Anything you’re not comfortable with is not going to happen. I’ve heard other actors that are like, ‘I loved it when there was no intimacy coordinator,’ but I definitely think it’s better,” she said.

  4. Long-lost copy of the US Constitution, found in North Carolina filing cabinet, heads to auction
    kra13.cc
    Historical document appraiser and collector Seth Kaller spreads a broad sheet of paper across a desk. It’s in good enough condition that he can handle it, carefully, with clean, bare hands. There are just a few creases and tiny discolorations, even though it’s just a few weeks shy of 237 years old and has spent who knows how long inside a filing cabinet in North Carolina.

    At the top of the first page are familiar words but in regular type instead of the sweeping Gothic script we’re used to seeing: “WE, the People …”

    And the people will get a chance to bid for this copy of the US Constitution — the only of its type thought to be in private hands — at a sale by Brunk Auctions on Sept. 28 in Asheville, North Carolina.
    https://www-kraken21.at
    kra5.cc
    The minimum bid for the auction of $1 million has already been made. There is no minimum price that must be reached.

    This copy was printed after the Constitutional Convention finished drafting the proposed framework of the nation’s government in 1787 and sent it to the Congress of the ineffective first American government under the Articles of Confederation, requesting they send it to the states to be ratified by the people.

    It’s one of about 100 copies printed by the secretary of that Congress, Charles Thomson. Just eight are known to still exist and the other seven are publicly owned.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

RELATED ARTICLES

Senpus #pojokSastra

Senpus #PojokSastra

Senpus#pojokSastra

Follow My

https://api.whatsapp.com/send/?phone=6285717777301

Baca Juga

Senin Puisi (SenPus) #Perjalanan

0
"Berhentilah mengkhawatirkan jalan berlubang dan nikmati perjalannya." - Babs Hoffman Meniti Langkah Oleh: Zanatul Faizah Berjalan di atas titian Memenuhi banyak tuntutan Bahu memanggul ribuan harapan Langkah terjerab banyak beban Hidup bagai...

Resensi Novel Teruslah Bodoh Jangan Pintar

6
Identitas Buku Judul Buku        : Teruslah Bodoh Jangan Pintar Pengarang          : Tere Liye Penerbit              : PT. Sabak Grip Nusantara Tahun Terbit       : 1 Februari 2024 Jumlah Halaman: 371 halaman Nomor...

Danau Penghisap Nyawa

82
Karya: Fira Kumala Devi Segerombolan bocah menari-nari dibawah terik Bersenandung tawa sembari berlari-lari Tanpa baju usang serta alas pelindung kaki Si Hitam bertambah legam menyerupai panggang...
Berikut Penjelasan Dosen PAI Unhasy Soal Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an

Berikut Penjelasan Dosen PAI Unhasy Soal Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an

165
Moderatpers.com – Dalam acara khotmil Qur’an serta kajian bertajuk “Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an”, Muhammad Nur Salim, M. Ag (Dosen PAI Universitas Hasyim Asy’ari) menjelaskan...

KoTak Ada Jarak

0
Karya: Hawayein Sepasang mata menengadah.sementara jejak kaki masih merekah.jauh di sana ada maya..maka pusatkanlah tatapan padanya..Bila sudah, maka resapilah..mana bumi mana cakrawala..hanya tampak tersekat horizontal..bahkan...