spot_imgspot_imgspot_img
Sabtu, Juli 27, 2024
spot_imgspot_imgspot_img
BerandaSASTRACerpenMenggapai Bintang

Menggapai Bintang

Oleh: Zanatul Faizah

Cahaya matahari terlihat semburat mewarnai langit. Dengan penuh semangat, Adi bangun dari tidurnya. Setelah nyawanya benar-benar terkumpul, tangannya menggapai karung goni di pojok bangunan reyot yang biasa ia sebut rumah. Tak lupa Adi membawa pengait untuk ia gunakan mengambil rongsokan-rongsokan. Gludak. Adi tak sengaja menjatuhkan keranjang yang biasa digunakan bapaknya mencari rongsokan. Sesaat Adi teringat akan sosok mendiang bapaknya yang telah meninggal. Setetes air mata jatuh dari sudut matanya, segera ia usap cepat-cepat. Tangannya terulur meletakkan keranjang itu ke tempatnya.

Setelah membuka pintu rumahnya yang terbuat dari triplek tipis, Adi menghirup udara pagi dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. “Buat apa bangun pagi?” Suara itu sudah biasa Adi dengar. “Bangun pagi atau siang juga tetep jadi pemulung!” Mulut itu tersenyum miring ke arah Adi. Adi tak mengubris sedikitpun ucapan tadi. Dengan cepat ia menutup pintu rumahnya, lalu segera beranjak. “Gubuk cuma isi rongsokan aja!” Tangan Adi mengepal menahan amarah. Dadanya naik turun. “Dasar orang miskin!” Tepat saat mulut Adi ingin menjawab ucapan Dimas, sebuah tepukan di pundaknya membuatnya menoleh. “Kok belum berangkat mulung?” Mata Adi yang semula bertatapan dengan perempuan setengah baya yang biasanya ia panggil ‘Bude’ kembali menoleh ke arah Dimas yang tengah memandang rendah ke arahnya. “Udah jangan diladenin,” ujar perempuan itu sembari mengelus pelan pundak Adi yang kurus.

Kaki Adi melangkah melewati gang demi gang untuk mencari rongsokan. “Dapet banyak nggak, Di?” Adi menoleh ke arah sumber suara. Pria setengah baya menghampirinya, pakainnya yang ia kenakan sudah tak layak pakai. “Masih dapet dikit, Bang.” Adi nampak lesu. Pria tadi membakar ujung rokoknya, lalu mengeluarkan asap rokoknya melalui mulutnya. “Sarapan dulu sana!” Perintah pria itu sembari menunjuk warung di ujung gang yang berukuran tak terlalu besar. Adi menggeleng pelan, “Adi cari rongsokan dulu aja Bang.” Huffff. Bang Dayat kembali mengeluarkan asap rokoknya melalui mulutnya dengan bangga. “Yaudah, terserah lah.” Adi pun kembali menyusuri gang tiap gang.

Saat di tepi sungai yang airnya hanya semata kaki, Adi teringat jika kemarin ada acara pernikahan di rumah besar di desa sebelah. Dengan semangat ia berlari di bawah teriknya matahari. Benar saja di sana acara pernikahan digelar. Acaranya telah selesai, beberapa pria nampak tengah memberesi tenda. Adi dengan cepat berlari ke arah sana. “Pak, rongsokannya saya ambil ya.” Adi berujar kepada salah satu orang di sana. Orang itu hanya menganggukan kepalanya singkat. Gelas-gelas plastik yang terkumpul bercampur sampah Adi pilah-pilah. Ia memasukkan rongsokan-rongsokan itu ke dalam karung goninya dengan cekatan. “Kayaknya gak muat, nih.” Adi bermonolog sembari tangannya terus memasukkan rongsokan ke dalam karung goninya. “Harus balik lagi, nih.” Adi berdiri, mengangkat ujung karung goni di pundak sebelah kanannya lalu berjalan pelan untuk pulang.

Srokkkkk. Rongsokan dalam karung goni yang dibawa Adi berceceran. Anak laki-laki yang pakaiannya lusuh di belakang Adi adalah pelakunya. Anak laki-laki yang bernama Amir itu dadanya naik turun. “Heh, kamu tau kan ini wilayahku!” Adi berjongkok, tangannya meraih karung goni yang isinya tinggal setengah. Ia pegang erat-erat katung itu. “Isi karung goni itu jadi milikku!” Adi semakin memegang erat-erat karung goni miliknya. “Mana karungnya?!” Adi mundur perlahan, lalu berlari tapi sialnya kakinya tersandung batu. Amir tertawa keras melihatnya. Saat akan mengambil karungnya, karung itu sudah berada di genggaman Amir. “Itu milikku!” Adi tak terima. “Maju sini kalau berani!” Amir menantang. Adi diam, tangannya mengepal. “Kau maju kepalamu kubocorkan!” peringat Amir. Adi merasa tak terima. Hampir saja air matanya jatuh. “Yahhhh, nangis.” Ejekan Amir membuat dada Adi naik turun.

Saat Amir tengah memasukkan rongsokan-rongsokan yang berceceran, Adi melangkah ke arah Amir. Tangan Adi dengan cepat merebut karung miliknya. “Kurang ajar,” umpat Amir saat karung itu berhasil direbut Adi. “Ini wilayahku, semua yang di sini milikku!” ujarnya penuh dengan amarah. “Mana karugnya!” Amir maju beberapa langkah. “Atau, mau kepalamu kubocorkan?!” Adi hanya tersenyum miring. “Wah, nantangin.” Amir segera berlari ke arah Adi. Tangannya membogem pipi tirus Adi hingga meninggalkan lebab. Adi mengeluh kesakitan. Padahal tadinya ia mencoba mengelak bogeman Amir. “Hei, hentikan.” Suara itu muncul saat Amir hendak melayangkan tamparan ke arah pipi Adi. Adi agak lega awalnya. Tapi kelegaannya hilang saat menyadari pemilik suara itu. “Habisin aja Mir!” ujar suara itu. Dia adalah Azis, kawan Amir. Saat Azis melangkah ke arah Adi, sebuah bogeman mendarat tepat di perut Adi. Adi merasa pandangannya gelap. Ia merasakan ada sesuatu yang mengalir dari sudut bibirnya, rasanya seperti darah.

Telingga Adi menangkap suara aneh, kesadarannya belum sepenuhnya kembali, kepalanya masih berat. Ia mencoba membuka matanya, betapa terkejutnya ia ternyata ia berada di atas tumpukan sampah dan beberapa ekor tikus sedang mengerubungi sisa-sisa makanan yang berada tak jauh dari Adi. Adi segera bangkit, ia nampak linglung. Adi meninggalkan tumpukan sampah sembari memegangi kepalanya yang masih terasa berat. Langkahnya sempoyongan. Rintik hujan menemani langkah Adi pulang. Dirinya mungkin akan basah kuyup jika tidak mempercepat langkahnya. “Astaga!” Adi mendongakan kepalanya ke arah sumber suara. Satu-satunya perempuan yang ia punya. “Pipi itu kenapa?” Perempuan itu tak berhenti mengomel. Tangan Adi ditarik cepat, “sini Bude obatin.” Adi menhembuskan napasnya, pandagannya memandang langit yang gelap oleh mendung. “Bude, Adi bisa sekolah nggak ya?” Yang diajak bicara hanya mengelengkan kepalanya pelan, sembari tangannya dengan cekatan mengompres lebab di pipi Adi. Adi memandang perempuan di sampingnya, “Adi nggak mungkin bisa sekolah ya Bude?”

“Di,” panggil perempuan setengah baya di mulut pintu. Adi hanya menoleh, pandangannya kembali mengarah ke arah langit malam yang bertabur bintang. Perempuan itu tak tega melihat Adi, “Di.” Adi menoleh. Tangan perempuan setengah baya itu mengelus lembut pundak Adi. “Adi pengen bisa sekolah.” Mata Adi berkaca-kaca. Perempuan di hadapannya hanya mengangguk lalu memeluk erat tubuh Adi.

“Kalau mulung jangan jauh-jauh!” Adi berlari setelah berpamitan kepada budenya. Gang demi gang Adi telusuri untuk mencari rongsokan. Satu per satu rongsokan Adi masukkan ke dalam karung goninya. Suara perut kosongnya tak membuatnya berhenti mengumpulkan rongsokan. Tak terasa karung milik Adi hampir penuh dengan rongsokan, ia pun duduk di bawah pohon untuk beristirahat. Tenggorokannya kering, belum ada sesuatu yang masuk perutnya. Tangan Adi nampak mencari-cari sesuat dalam karung miliknya. “Dapet,” ujar Adi saat menemukan air dalam botol bekas temuannya. Dengan cepat Adi meneguknya hingga tandas. Adi mengelus perutnya setelah meneguk air dalam botol hingga tandas. Tak beberapa lama kemudian Adi kembali bangkit untuk memenuhi karungnya dengan rongsokan.

“Kok malem banget, Di?” Budenya tampak khawatir karena Adi tiba saat malam telah larut. “Bersih-bersih dulu sana!” Adi mengangguk lalu segera mencuci tangan dan kakinya di tong penampungan air di belakang gubuknya. “Bude, tadi Adi dapet uang banyak!” ujar Adi sembari membuka nasi bungkus pemberian tetangga ujung gang. Budenya hanya menganggukan kepalanya.

Hampir setiap hari Adi berangkat di pagi buta lalu kembali di malam hari. Adi bertekad tidak akan pulang sebelum karungnya penuh dengan rongsokan. Biarpun panas terik atau hujan deras, ia tak akan pulang sebelum rongsokan-rongsokan memenuhi karung goninya yang usang.

“Akhirnya Adi bisa sekolah, Bude.” Adi memeluk perempuan itu erat-erat. “Udah.” Perempuan itu melepas tangan Adi yang melingkar di pinggangnya. “Nanti seragamnya kotor,” pungkas perempuan itu sembari merapikan seragam yang dikenakan Adi.

“Eh, mau pergi kemana?” Pasalnya Adi baru saja pulang dari sekolah. “Adi mau mulung!” teriak Adi, tangannya mengenggam karung goni. “Jangan malem-malem, Di!” teriak budenya. Perempuan itu kembali duduk, menyusun rongsokan-rongsokan yang telah didapat ke dalam karung goni yang nantinya akan dibawa ke pengepul rongsokan.

Malam telah larut, tapi Adi belum juga pulang. Hujan seperti akan segera turun. “Bude, lihat!” Tak selang beberapa lama Adi pun tiba. “Di, kamu jangan mulung terus. Kamu harus inget kalau kamu sekarang harus belajar!” Adi diam. Tak pernah ia melihat budenya semarah ini. “Habis ini Adi belajar, Bude.” Adi berujar sembari memilin ujung kaos yang ia kenakan.

Benar saja, setelah mengisi perutnya Adi membuka buku-buku sekolahnya di bawah temaram cahaya lampu petromak yang tergantung di gubuk tempat Adi tinggal. Berkali-kali ia menguap. Ia bertekad tidak akan tidur sebelum menyelesaikan belajarnya.

“Lho Adi?” Seorang laki-laki berbaju batik dengan bawahan celana berwarna hitam berdiri mematung di hadapan Adi. “Eh, Pak?” Adi menghampiri gurunya. “Eh.” Adi mengurungkan niatnya menjabat tangan gurunya. Ia teringat, tangannya kotor. “Lho.” Laki-laki yang bernama pak Ardan itu menyodorkan tangan kanannya ke arah Adi. “Hah?” Adi mendonggak tak percaya. Sebelum mencium punggung tangan pak Ardan, Adi mengusap-usapkan telapak tangannya di bagian kaos yang terlihat bersih.

“Jadi setelah pulang sekolah kamu mulung?” Adi mengangguk, tak ada rasa malu dalam dirinya. “Bapak bangga sama kamu!” Adi hanya tersenyum kecil. “Ayo makan dulu, yuk!” Dari raut wajahnya Adi nampak bingung, “ehmmm.” Tanpa menunggu jawaban Adi, laki-laki itu langsung menarik tangan Adi masuk ke warung makan pinggir jalan. “Tadi sarapan pake lauk apa?” Keduanya tengah menunggu pesanannya tiba. “Hehehe, kalau makan cuma waktu malem aja Pak.” Pak Ardan nampak tak percaya.

“Ibuk sama bapak kamu pasti bangga punya anak kayak kamu!” seru pak Ardan setelah meminum es tehnya hingga tersisa setengah. “Adi cuma punya bude, Pak.” Lagi-lagi pak Ardan kaget. “Nggak tau bapak sama ibu kemana,” ujar Adi dengan wajah sendu. Tangan pak Ardan mengelus pundak Adi yang berbalut kaos berwarna hitam.

“Bude, kira-kira Adi bisa masuk SMP nggak ya?” tanya Adi di suatu malam setelah mengulang pelajaran sekolahnya di bawa cahaya lampu petromak. “Udah, yakin aja!” Tangan budenya dengan cekatan menyusun gelas plastik ke dalam karung goni. “Bude akan dukung mimpi-mimpimu, Di.”

Seorang laki-laki berjubah hitam dengan toga di kepalanya nampak berjalan di antara pusara. Tak lama ia berhenti lalu berjongkok di dekat gundukan tanah yang di ujungnya tertancap batu nisan. “Bude, Adi udah lulus.” Tangisnya tak terbendung. “Adi udah jadi sarjana,” lanjutnya sembari menaburkan bunga ke atas gundukan tanah tersebut. Tangis laki-laki itu pecah, bahunya bergetar. Tangannya menyiramkan air dalam botol mineral ke atas gundukan tanah yang telah ia taburi bunga. Cukup lama ia duduk bersimpuh di dekat batu nisan itu. “Bude pasti bangga sama Adi, kan?” Tangan Adi mengelus batu nisan itu dengan lembut.

193 KOMENTAR

  1. After I initially commented I seem to have clicked on the -Notify me when new comments are added- checkbox and from now on every time a comment is added I receive four emails with the exact same comment. Perhaps there is a way you can remove me from that service? Thanks.

  2. This is the perfect blog for anybody who wants to understand this topic. You understand a whole lot its almost tough to argue with you (not that I really would want to…HaHa). You definitely put a fresh spin on a topic that’s been written about for ages. Excellent stuff, just excellent.

  3. Hi, I do think this is a great blog. I stumbledupon it 😉 I’m going to return yet again since I saved as a favorite it. Money and freedom is the best way to change, may you be rich and continue to help others.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

RELATED ARTICLES

Follow My

https://api.whatsapp.com/send/?phone=6285717777301

Baca Juga

Pertunjukan Ludruk Guyon Maton dalam Puncak Acara Bulan Gus Dur. Dok. Theo, Cukir, Diwek, Jombang (17/12/)

Cak Percil CS Meriahkan Peringatan Bulan Gus Dur di Minha Jombang

41
ModeratPers – Museum Islam Indonesia KH. Hasyim Asy’ari (Minha) menggelar acara “Guyonan Rakyat” yang dimeriahkan oleh Cak Kartolo, Guyon Maton, Cak Percil CS, dan...
Foto : Pengunjung Mendengarkan Musik Favorit Presiden Saat Pameran

MINHA Tebuireng Gelar Pameran Alunan Musik Presiden RI

49
ModeratPers - Museum Islam KH. Hasyim Asy’ari (MINHA) Tebuireng adakan pameran koleksi musik favorit para presiden Republik Indonesia. Kegiatan ini dipelopori oleh Museum Kepresidenan...
workshop

Dokumentasi Workshop Hoax Busting And Digital Higiene_UKM FUM UNHASY

0
https://drive.google.com/folderview?id=1iz6sRrtCF0ILsuQJWJPqAnWMuup6RpsG
sumber: freepik.com

Tak Kunjung Publikasi Hasil Pemira, KPUM Beri Jawaban

122
ModeratPers – Kontestasi demokrasi pada Pemilihan Umum Raya (Pemira) Mahasiswa Universitas Hasyim Asy’ari telah memberikan hasil akhirnya. Menilik pada Selasa (12/12) dan Rabu (13/12)...

Jumat Puisi (JumPus) #Bebas-3

126
Tenangkan hati. Semua ini bukan salahmu. Jangan berhenti. Yang kau takutkan takkan terjadi. (Kunto Aji - Rehat)   Tersandung Indahnya Pantai Karya : Na'im Maunah Anginnya kencang Sang fajar meniup...