Moderatpers.com – Kamis, (1/12/2020), sepuluh hari pertama di bulan Desember, bulan penghujung pada setiap tahun, yang mana di peringati sebagai Hari “Hak Asasi Manusia” atau HAM. Tanggal tersebut menjadi tanggal bersejarah, dimana 72 tahun silam Dewan Umum Perserikatan Bangsa – Bangsa mendeklarasikan Universal Declaration of Human Rights yang berisi serangkaian hak manusia yang tidak dapat diganggu gugat dan dicabut oleh siapapun.
Kendati demikian, kesadaran akan HAM bukan berarti baru muncul pada 1948. Dikutip dari laman kumparan.com, Sejarah mencatat bahwa sejak dahulu semua komunitas telah memiliki sistem keadilan yang berguna untuk memastikan kesejahteraan para aggotanya, baik secara lisan maupun tulisan. Melansir dari laman Human Rights Library University of Minnesota, Kitab Weda, Alkitab, Al-Qur’an, dan Kode Hammurabi adalah beberapa sumber tertulis paling tua yang membahas tentang kewajiban, hak dan tanggung jawab masyarakat. Lalu, kenapa harus 10 Desember 1948 yang menjadi awal Hari HAM?
Kalian tentu ingat Perang Dunia II bukan? Ya, perang dimana terjadi pertumpahan darah di hampir seluruh lapisan masyarakat di bumi ini. Karena PD II itulah, kesadaran global akan HAM mulai tumbuh. Pemusnahan jutaan orang Yahudi, Gipsi, dan penyandang Disabilitas oleh Nazi Jerman membuat ngeri. Seruan untuk melindungi warga datang dari berbagai negara di dunia. mereka kemudian berkomitmen untuk mendirikan Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) pada Oktober 1945 dengan tujuan utama memperkuat perdamaian dan mencegah konflik.
Kemudian, PBB berjanji untuk mempromosikan penghormatan terhadap HAM pada semua orang dan membentuk Komisi Hak Asasi Manusia dengan tugas menyusun dokumen yang menjelaskan makna hak – hak dasar dan kebebasan. Pada (10/12/1948), Deklarasi Universal HAM diadopsi oleh 56 anggota PBB. Deklarasi HAM 1948 dibagi dalam empat kelompok besar. Yang pertama tentang penegasan prinsip dasar deklarasi ini, yakni bahwa setiap manusia lahir dengan kebebasan dan persamaan dalam hak dan martabat.
Kedua, prinsip kesamaan dan tidak dibenarkan melakukan diskriminasi. Negara berkewajiban untuk melindungi dan menegakkan prinsip – prinsip tersebut. ketiga, kewajiban tiap individu dalam masyarakat untuk menjalankan dan menegakkan HAM. Dan keempat adalah larangan bagi negara, kelompok atau individu untuk berbuat sesuatu yang bisa mencederai hak – hak kebebasan yang diatur dalam deklarasi.
Jika kita menilik 30 HAM yang selama ini kita ketahui pun berasal dari isi deklarasi ini. Namun, setelah melihat sejarah tersebut, tanggal dilahirkannya Deklarasi HAM tidak serta merta dijadikan sebagai Hari HAM Internasional saat itu juga. Baru dua tahun kemudian, tepatnya 1950, 10 Desember ditetapkan sebagai Hari HAM Ketika Majelis Umum PBB mengundang semua negara dan organisasi untuk turut mendukung dan merayakan deklarasi tersebut.
Melansir dari tirto.id, Tema Peringatan Hari HAM yang disepakati pada tahun 2020 ini adalah “Recover Better Stand Up for Human Right”. Tema ini diambil berdasarkan fakta dunia saat ini yang sering melakukan kegiatan secara virtual karena adanya covid-19. Fokusnya agar mampu berkembang lagi lebih baik dan memastikan HAM terpenuhi selama pandemi sebagai dari upaya pemulihan. Dimana dampaknya sangat memprihatinkan, kemiskinan, ketidaksetaraan, diskriminasi dan kesenjangan lainnya meningkat. Dengan harapan, dalam keadaan ini bisa tetap menumbuhkan kepedulian terhadap hak-hak yang harus diberikan kepada sesama dan segera pulih dari krisis yaang ada.
Lantas, bagaiamana peringatannya di Indonesia? Dikutip dari TEMPO.CO, pagi ini, Kamis (10/12/2020), peringatan Hari HAM dilakukan secara daring oleh Komnas HAM. Presiden Joko Widodo dalam pidatonya menyampaikan sejumlah janji dan komitmen pemerintah dalam rangka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.
Janji pemerintah pertama adalah akan menuntaskan kasus – kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Kedua, pemerintah berjanji pemenuhan hak kesehatan dan kesejahteraan masyarakat tetap terpenuhi di tengah pandemi Covid – 19. Ketiga, janji pemerintah akan menyelesaikan pelanggaran kebebasan beribadah di beberapa tempat. Keempat adalah menjamin pembangunan infrastruktur didedikasikan sebagai prasarana untuk pemenuhan HAM dengan menjamin keterjangkauan hak mobilitas, hak Kesehatan, hak pangan dan hak kebutuhan dasar yang merata termasuk bahan bakar satu harga. Kelima, melakukan upaya pembangunan SDM, terjaminnya Pendidikan terutama di daerah – daerah terpencil. Dan keenam, menjamin hak – hak penyandang disabilitas.
Jauh, sebelum kita melihat pada masa kini, mari kita menilik pada kasus pelanggaran HAM masa lalu! Tentu kita ingat bahwa Pembunuhan Massal 1965, Penembakan Misterius 1982 – 1985 (PETRUS), Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Pelangaran HAM di Aceh, Penculikan Aktivis 1997/1998, Tragedi Semanggi dan Kerusuhan Saat Penembakan Mahasiswa Trisakti 1998, Kasus Marsinah, Kasus Wasior dan Wamena (2001 dan 2003), Pembunuhan Munir, Peristiwa Pania (2014), Kasus Pembunuhan Salim Kancil (2015), dan masih banyak lagi. Kasus – kasus tersebut adalah beberapa kasus yang hingga kini menyimpan tanda tanya besar bagi masyarakat, terkhusus para aktivis HAM!
Bahkan aktivis mahasiswa dan para jurnalis juga terus mengalami pelanggaran hak asasi manusia di bumi nusantara! Mari kita lihat pada tanggal 24 – 30 September 2019, tahun lalu, yaitu tahun dimana terjadi aksi unjuk rasa mahasiswa atas revisi Undang – Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK dan Rancangan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana atau RKUHP.
Di lansir dalam berita Liputan 6.com, bahwa Hariansyah (Komisioner HAM) mengatakan bahwa ditemukan 3 korban jiwa meninggal di Jakarta dan 2 di Kendari, Sulawesi Tenggara. Mereka meninggal dunia karena luka dan tembakan senjata api. Selain itu, 15 jurnalis juga menjadi korban kekerasan saat demo itu berlangsung. Itu baru data yang di beritakan oleh media – media berita nasional. Belum lagi pada kasus – kasus pelanggaran HAM pada setiap daerah dan perguruan tinggi khususnya yang tak di gubris oleh pemerintah. Dan terbaru menyoal demo masyarakat dan mahasiswa yang kembali pecah saat penolakan UU Omnibus law baru – baru ini! Lalu, akan sampai kapan pelanggaran HAM hanya diberitakan tanpa ada tindak lanjut bagi para pelanggarnya? Apakah hukum hanya tertulis dan tak di gubris?
Penulis : Rokhimatul Inayah
Editor : Ahmad Faris Ihsan Syafri
Penerbit : Tim media Lpm FUM