Subuh buta. Irul melihat wajah Emak nan kuyu yang dulu ayu. Sekarang, tampak memutih rambut, dan wajah semakin keriput. Ia takut, wajah itu kelak menghilang. Wanita itu masih tidur. Entah mengapa wajah orang tidur selalu meninggalkan belas kasihan. Pun dekat kematian. Apalagi wajah Emak. Tiba-tiba hati Irul merasa berat dan iba.
Irul segera menyelempangkan tas sekolahnya, lantas mengendap-endap membuka pintu itu dan keluar.
Ini subuh. Bahkan belum subuh. Fajar menganga sebentar. Irul bergegas. Man[1] Kandar sudah menunggu. Tepat di depan rumahnya, pria berbadan tegap itu sudah sibuk dengan sayur-mayur daganganya. Ketika Irul datang dan tampak di muka, Man Kandar hanya melihat tidak bicara. Tanpa senyum pula. Irul paham ia harus segera membantu merapikan sayuran itu. Sejak semalam, Man Kandar sudah menguntinginya sendiri. Terong diikat lima-lima, ada yang tiga-tiga. Kangkung diikat sekepal tangan saja. Diikat menjadi sebongkok tiap 6 ikat. Semua ada dua rinjing.
Usai Man Kandar memasang kupluk kepalanya, Irul segera naik ke boncengan, ngangkang di atas rinjing itu. Dan motor itu menderu melaju, menembus gelap.
***
Pasar tidak mengenal senyap. Pun, tidak ada kata lelap saat subuh buta. Semua sudah ramai. Bersahut-sahutan. Seorang wanita yang hendak hajatan, sudah memenuhi tasnya dengan potongan daging ayam, bumbu-bumbu, dan aneka penyedap masakan. Tak lupa, dia juga memenuhi mulutnya dengan jajanan. Seorang pria penjual ikan lele duduk di sudut gang. Di depannya ada ember besar berisi puluhan lele yang menggeliat berebut ruang. Klugit-klugit. Gang-gang pasar itu sempit, tapi beberapa orang menjubelinya berebut jalan. Irul segera turun dari motor itu. Mengangkat rinjing itu turun. Lantas mengambil beberapa untingan terong dan kangkung untuk buka dasaran[2].
“Dhek, kangkung berapa?”
Irul kaget, lantas menyahut gugup, “Satu ikat 500.”
“Kok 500?”
Irul diam. Bingung harus jawab apa.
Tapi, wanita itu tetap di depannya. Tangannya masih begitu lincah memilah, bibirnya masih getol menawar.
Irul tetap diam. Hanya melihat tangan perempuan itu melipat-lipat untingan kangkung.
“Ini isi enam, Yu,” Man Kandar menyahut sambil menunjukkan sebongkok kangkung, isi 6 ikat. “2500 saja,” tegasnya.
“Walah, kebanyakan kalau semua.”
Irul diam. Man Kandar tetap menawarkan, “Didulitno sambel yo gak kroso, suwe-suwe entek.[3]”
“Yoweslah, ambil sak bongkok.”
Setelah memasukkan sebongkok kangkung, perempuan itu pergi. Pandangan Irul dan Man Kandar bertemu. Man Kandar seperti memberitahu Irul bagaimana cara menjual. Irul tak bergeming dan hanya kembali merapikan untingan sayur mayur itu. Dingin begitu membeku. Gairah Irul terpaku. Berkali-kali, benaknya menolak untuk berjualan bersama Man Kandar. Akan tetapi, berkali-kali pula ia teringat Emak yang terbaring layu selama dua hari ini.
Irul mengamati Man Kandar. Dan yang lebih menarik perhatiannya adalah benda yang layarnya berkilatan di dompet pinggang Man Kandar. Sebuah ponsel pintar yang gurat layarnya masih kinclong belum banyak baretan. Irul tahu smartphone itu baru dibeli Man Kandar 2 bulan lalu. Ia masih ingat ketika itu Man Kandar bilang, ponsel itu dibelinya dari hasil jual sayur-mayurnya. Dan karena ponsel pintar itulah, Irul bersemangat ikut menjual sayur setiap subuh buta sejak dua hari lalu. Tinggal hari ini, esok aku bisa pakai smartphone itu, batinnya.
Tiba-tiba, Irul menjadi semangat. Ia meletakkan tas selempang sekolahnya ke pojok, lantas berdiri. “Sayur-Sayur. Kangkung. Terong. Segar-segar. Didulit sambel, disayur oseng-oseng juga bisa. Sehat. Alami. Anti pengawet. Dan tentunya anti pecah,” tawarnya semangat. Beberapa ibu-ibu yang belanja senyum-senyum mendengar kicauannya itu. Termasuk, Man Kandar yang tersenyum dan paham betul mengapa bocah itu semangat melakukannya.
***
Sayuran itu sebenarnya belum habis. Ada beberapa untingan kangkung dan terong belum terjual. Akan tetapi, pasar sudah mulai sepi. Tidak ada lagi yang sekedar melihat-lihat, apalagi memilih bongkokan sayur-mayur itu. Karena itu Man Kandar siap pulang.
Subuh bergeser pagi. Irul harus bergegas ke sekolah. Dari pasar itu, ia nunut motor Man Kandar. Sementara pria pemilik smartphone itu pulang dengan rinjing berisi untingan sayur sisa jualan. Waktunya sudah mepet jam masuk sekolah. Tapi, Irul belum berganti baju seragam.
Irul masuk ke kamar kecil. Mengeluarkan seragam dari tas slempang. Irul mengganti baju kumalnya tanpa mandi. Ia terburu-buru. Kancing bajunya belum terkait satu. Jelas sekali ada keringat di sana. Belum lagi bau setengah amis khas aroma pasar. Teman-teman sekolahnya membauinya tidak nyaman. Namun, Irul tak hirau. Ia hanya menyeka wajahnya dengan sapu tangan yang terbuat dari sobekan sarung. Emak membuatnya dari sarung yang digunting menjadi segi empat sama sisi. Lalu dijahitnya pinggiran sisi itu.
Tiba-tiba mata Irul kembali berkaca-kaca. Teringat Emak, Ia begitu sedih. Dua hari ini Emak sakit. Ada capek yang tergambar jelas di matanya. Ketika bibir emak tersenyum, matanya tidak sepenuhnya bisa berbinar. Emak selalu menerima tawaran dadak[4] di sawah. Atau ani-ani[5] dari pagi sampai matahari naik sepenggalah. Atau, tawaran membantu memasak sekaligus mencuci perabot kotor bekas hajatan pernikahan. Emak selalu terima. Karena itu, Emak sakit sekarang.
Tiba-tiba, seseorang mendatangi kelas Irul. Irul terkejut, karena pria itu tetangga yang dikenalnya. Tidak biasa pria itu datang ke sekolah, apalagi memintanya segera pulang, “Emak, Rul …..”
Irul berlari memotong ucapan lelaki itu. Ia sudah menduga ada sesuatu yang terjadi pada Emak. Akan tetapi, Irul tidak pulang menghampiri Emak. Dia malah mendatangi Man Kandar di sawah.
“Pinjamkan smartphone itu sekarang. Bisa jadi waktu Emak tidak banyak,” kata Irul tersengal-sengal.
“Mak mu, kenapa?”
“Sudahlah Man. Segera pinjamkan saja Smartphone itu. Kau sudah janji, akan meminjamiku sebentar, jika aku mau membantumu jualan tiga hari di pasar,” tagih Irul.
“Iya, aku sudah janji,” Man Kandar ikut panik, “Memang sekarang?”
“Iya,”
Man Kandar menyerahkan smartphone itu. Dan Irul menyahutnya lantas berlari.
“Ojo rusak lo Rul,” teriak Man Kandar.
Irul berlari ke rumah. Emaknya masih terbaring. Lelaki tetangganya itu duduk di dipan, “Ayo bawa Emakmu ke Mantri, Rul. Biar cepat sembuh.”
“Iya. Tapi tunggu dulu. Biarkan aku foto emak untuk terakhir kalinya,”
“Hush!! Mak mu kan cuma demam karena masuk angin.”
Irul tidak menjawab, hanya segera memotret wajah emak yang ayu. Ketika wajah ayu nan kuyu Emak terbingkai jelas di ponsel pintar itu, Irul lega. Sebab, ia telah mengabadikan foto Emak sebelum terlambat, seperti ketika Bapaknya meninggal tanpa meninggalkan foto, barang selembar pun untuknya.
Jombang, 01 Januari 2023
Penulis:
Robi’ah Machtumah Malayati
Novelis Novel Rahasia Diary Pegon (2018), Opera Osirella (2019), Desperate Housewives (2020) asal Jombang Jawa Timur.
[1] Sapaan untuk seseorang yang lebih tua dan dianggap kerabat. Man kependekan dari Paman.
[2] Membuka lapak untuk jualan
[3] Dicocol ke sambel ya tidak terasa, lama-kelamaan (kangkung) pasti habis.
[4] Mencabut gulma di sawah
[5] Memanen padi
Suka banget sama cerpennya🥺