spot_imgspot_imgspot_img
Rabu, Februari 5, 2025
spot_imgspot_imgspot_img
BerandaSASTRACerpenMenggapai Bintang

Menggapai Bintang

Oleh: Zanatul Faizah

Cahaya matahari terlihat semburat mewarnai langit. Dengan penuh semangat, Adi bangun dari tidurnya. Setelah nyawanya benar-benar terkumpul, tangannya menggapai karung goni di pojok bangunan reyot yang biasa ia sebut rumah. Tak lupa Adi membawa pengait untuk ia gunakan mengambil rongsokan-rongsokan. Gludak. Adi tak sengaja menjatuhkan keranjang yang biasa digunakan bapaknya mencari rongsokan. Sesaat Adi teringat akan sosok mendiang bapaknya yang telah meninggal. Setetes air mata jatuh dari sudut matanya, segera ia usap cepat-cepat. Tangannya terulur meletakkan keranjang itu ke tempatnya.

Setelah membuka pintu rumahnya yang terbuat dari triplek tipis, Adi menghirup udara pagi dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. “Buat apa bangun pagi?” Suara itu sudah biasa Adi dengar. “Bangun pagi atau siang juga tetep jadi pemulung!” Mulut itu tersenyum miring ke arah Adi. Adi tak mengubris sedikitpun ucapan tadi. Dengan cepat ia menutup pintu rumahnya, lalu segera beranjak. “Gubuk cuma isi rongsokan aja!” Tangan Adi mengepal menahan amarah. Dadanya naik turun. “Dasar orang miskin!” Tepat saat mulut Adi ingin menjawab ucapan Dimas, sebuah tepukan di pundaknya membuatnya menoleh. “Kok belum berangkat mulung?” Mata Adi yang semula bertatapan dengan perempuan setengah baya yang biasanya ia panggil ‘Bude’ kembali menoleh ke arah Dimas yang tengah memandang rendah ke arahnya. “Udah jangan diladenin,” ujar perempuan itu sembari mengelus pelan pundak Adi yang kurus.

Kaki Adi melangkah melewati gang demi gang untuk mencari rongsokan. “Dapet banyak nggak, Di?” Adi menoleh ke arah sumber suara. Pria setengah baya menghampirinya, pakainnya yang ia kenakan sudah tak layak pakai. “Masih dapet dikit, Bang.” Adi nampak lesu. Pria tadi membakar ujung rokoknya, lalu mengeluarkan asap rokoknya melalui mulutnya. “Sarapan dulu sana!” Perintah pria itu sembari menunjuk warung di ujung gang yang berukuran tak terlalu besar. Adi menggeleng pelan, “Adi cari rongsokan dulu aja Bang.” Huffff. Bang Dayat kembali mengeluarkan asap rokoknya melalui mulutnya dengan bangga. “Yaudah, terserah lah.” Adi pun kembali menyusuri gang tiap gang.

Saat di tepi sungai yang airnya hanya semata kaki, Adi teringat jika kemarin ada acara pernikahan di rumah besar di desa sebelah. Dengan semangat ia berlari di bawah teriknya matahari. Benar saja di sana acara pernikahan digelar. Acaranya telah selesai, beberapa pria nampak tengah memberesi tenda. Adi dengan cepat berlari ke arah sana. “Pak, rongsokannya saya ambil ya.” Adi berujar kepada salah satu orang di sana. Orang itu hanya menganggukan kepalanya singkat. Gelas-gelas plastik yang terkumpul bercampur sampah Adi pilah-pilah. Ia memasukkan rongsokan-rongsokan itu ke dalam karung goninya dengan cekatan. “Kayaknya gak muat, nih.” Adi bermonolog sembari tangannya terus memasukkan rongsokan ke dalam karung goninya. “Harus balik lagi, nih.” Adi berdiri, mengangkat ujung karung goni di pundak sebelah kanannya lalu berjalan pelan untuk pulang.

Srokkkkk. Rongsokan dalam karung goni yang dibawa Adi berceceran. Anak laki-laki yang pakaiannya lusuh di belakang Adi adalah pelakunya. Anak laki-laki yang bernama Amir itu dadanya naik turun. “Heh, kamu tau kan ini wilayahku!” Adi berjongkok, tangannya meraih karung goni yang isinya tinggal setengah. Ia pegang erat-erat katung itu. “Isi karung goni itu jadi milikku!” Adi semakin memegang erat-erat karung goni miliknya. “Mana karungnya?!” Adi mundur perlahan, lalu berlari tapi sialnya kakinya tersandung batu. Amir tertawa keras melihatnya. Saat akan mengambil karungnya, karung itu sudah berada di genggaman Amir. “Itu milikku!” Adi tak terima. “Maju sini kalau berani!” Amir menantang. Adi diam, tangannya mengepal. “Kau maju kepalamu kubocorkan!” peringat Amir. Adi merasa tak terima. Hampir saja air matanya jatuh. “Yahhhh, nangis.” Ejekan Amir membuat dada Adi naik turun.

Saat Amir tengah memasukkan rongsokan-rongsokan yang berceceran, Adi melangkah ke arah Amir. Tangan Adi dengan cepat merebut karung miliknya. “Kurang ajar,” umpat Amir saat karung itu berhasil direbut Adi. “Ini wilayahku, semua yang di sini milikku!” ujarnya penuh dengan amarah. “Mana karugnya!” Amir maju beberapa langkah. “Atau, mau kepalamu kubocorkan?!” Adi hanya tersenyum miring. “Wah, nantangin.” Amir segera berlari ke arah Adi. Tangannya membogem pipi tirus Adi hingga meninggalkan lebab. Adi mengeluh kesakitan. Padahal tadinya ia mencoba mengelak bogeman Amir. “Hei, hentikan.” Suara itu muncul saat Amir hendak melayangkan tamparan ke arah pipi Adi. Adi agak lega awalnya. Tapi kelegaannya hilang saat menyadari pemilik suara itu. “Habisin aja Mir!” ujar suara itu. Dia adalah Azis, kawan Amir. Saat Azis melangkah ke arah Adi, sebuah bogeman mendarat tepat di perut Adi. Adi merasa pandangannya gelap. Ia merasakan ada sesuatu yang mengalir dari sudut bibirnya, rasanya seperti darah.

Telingga Adi menangkap suara aneh, kesadarannya belum sepenuhnya kembali, kepalanya masih berat. Ia mencoba membuka matanya, betapa terkejutnya ia ternyata ia berada di atas tumpukan sampah dan beberapa ekor tikus sedang mengerubungi sisa-sisa makanan yang berada tak jauh dari Adi. Adi segera bangkit, ia nampak linglung. Adi meninggalkan tumpukan sampah sembari memegangi kepalanya yang masih terasa berat. Langkahnya sempoyongan. Rintik hujan menemani langkah Adi pulang. Dirinya mungkin akan basah kuyup jika tidak mempercepat langkahnya. “Astaga!” Adi mendongakan kepalanya ke arah sumber suara. Satu-satunya perempuan yang ia punya. “Pipi itu kenapa?” Perempuan itu tak berhenti mengomel. Tangan Adi ditarik cepat, “sini Bude obatin.” Adi menhembuskan napasnya, pandagannya memandang langit yang gelap oleh mendung. “Bude, Adi bisa sekolah nggak ya?” Yang diajak bicara hanya mengelengkan kepalanya pelan, sembari tangannya dengan cekatan mengompres lebab di pipi Adi. Adi memandang perempuan di sampingnya, “Adi nggak mungkin bisa sekolah ya Bude?”

“Di,” panggil perempuan setengah baya di mulut pintu. Adi hanya menoleh, pandangannya kembali mengarah ke arah langit malam yang bertabur bintang. Perempuan itu tak tega melihat Adi, “Di.” Adi menoleh. Tangan perempuan setengah baya itu mengelus lembut pundak Adi. “Adi pengen bisa sekolah.” Mata Adi berkaca-kaca. Perempuan di hadapannya hanya mengangguk lalu memeluk erat tubuh Adi.

“Kalau mulung jangan jauh-jauh!” Adi berlari setelah berpamitan kepada budenya. Gang demi gang Adi telusuri untuk mencari rongsokan. Satu per satu rongsokan Adi masukkan ke dalam karung goninya. Suara perut kosongnya tak membuatnya berhenti mengumpulkan rongsokan. Tak terasa karung milik Adi hampir penuh dengan rongsokan, ia pun duduk di bawah pohon untuk beristirahat. Tenggorokannya kering, belum ada sesuatu yang masuk perutnya. Tangan Adi nampak mencari-cari sesuat dalam karung miliknya. “Dapet,” ujar Adi saat menemukan air dalam botol bekas temuannya. Dengan cepat Adi meneguknya hingga tandas. Adi mengelus perutnya setelah meneguk air dalam botol hingga tandas. Tak beberapa lama kemudian Adi kembali bangkit untuk memenuhi karungnya dengan rongsokan.

“Kok malem banget, Di?” Budenya tampak khawatir karena Adi tiba saat malam telah larut. “Bersih-bersih dulu sana!” Adi mengangguk lalu segera mencuci tangan dan kakinya di tong penampungan air di belakang gubuknya. “Bude, tadi Adi dapet uang banyak!” ujar Adi sembari membuka nasi bungkus pemberian tetangga ujung gang. Budenya hanya menganggukan kepalanya.

Hampir setiap hari Adi berangkat di pagi buta lalu kembali di malam hari. Adi bertekad tidak akan pulang sebelum karungnya penuh dengan rongsokan. Biarpun panas terik atau hujan deras, ia tak akan pulang sebelum rongsokan-rongsokan memenuhi karung goninya yang usang.

“Akhirnya Adi bisa sekolah, Bude.” Adi memeluk perempuan itu erat-erat. “Udah.” Perempuan itu melepas tangan Adi yang melingkar di pinggangnya. “Nanti seragamnya kotor,” pungkas perempuan itu sembari merapikan seragam yang dikenakan Adi.

“Eh, mau pergi kemana?” Pasalnya Adi baru saja pulang dari sekolah. “Adi mau mulung!” teriak Adi, tangannya mengenggam karung goni. “Jangan malem-malem, Di!” teriak budenya. Perempuan itu kembali duduk, menyusun rongsokan-rongsokan yang telah didapat ke dalam karung goni yang nantinya akan dibawa ke pengepul rongsokan.

Malam telah larut, tapi Adi belum juga pulang. Hujan seperti akan segera turun. “Bude, lihat!” Tak selang beberapa lama Adi pun tiba. “Di, kamu jangan mulung terus. Kamu harus inget kalau kamu sekarang harus belajar!” Adi diam. Tak pernah ia melihat budenya semarah ini. “Habis ini Adi belajar, Bude.” Adi berujar sembari memilin ujung kaos yang ia kenakan.

Benar saja, setelah mengisi perutnya Adi membuka buku-buku sekolahnya di bawah temaram cahaya lampu petromak yang tergantung di gubuk tempat Adi tinggal. Berkali-kali ia menguap. Ia bertekad tidak akan tidur sebelum menyelesaikan belajarnya.

“Lho Adi?” Seorang laki-laki berbaju batik dengan bawahan celana berwarna hitam berdiri mematung di hadapan Adi. “Eh, Pak?” Adi menghampiri gurunya. “Eh.” Adi mengurungkan niatnya menjabat tangan gurunya. Ia teringat, tangannya kotor. “Lho.” Laki-laki yang bernama pak Ardan itu menyodorkan tangan kanannya ke arah Adi. “Hah?” Adi mendonggak tak percaya. Sebelum mencium punggung tangan pak Ardan, Adi mengusap-usapkan telapak tangannya di bagian kaos yang terlihat bersih.

“Jadi setelah pulang sekolah kamu mulung?” Adi mengangguk, tak ada rasa malu dalam dirinya. “Bapak bangga sama kamu!” Adi hanya tersenyum kecil. “Ayo makan dulu, yuk!” Dari raut wajahnya Adi nampak bingung, “ehmmm.” Tanpa menunggu jawaban Adi, laki-laki itu langsung menarik tangan Adi masuk ke warung makan pinggir jalan. “Tadi sarapan pake lauk apa?” Keduanya tengah menunggu pesanannya tiba. “Hehehe, kalau makan cuma waktu malem aja Pak.” Pak Ardan nampak tak percaya.

“Ibuk sama bapak kamu pasti bangga punya anak kayak kamu!” seru pak Ardan setelah meminum es tehnya hingga tersisa setengah. “Adi cuma punya bude, Pak.” Lagi-lagi pak Ardan kaget. “Nggak tau bapak sama ibu kemana,” ujar Adi dengan wajah sendu. Tangan pak Ardan mengelus pundak Adi yang berbalut kaos berwarna hitam.

“Bude, kira-kira Adi bisa masuk SMP nggak ya?” tanya Adi di suatu malam setelah mengulang pelajaran sekolahnya di bawa cahaya lampu petromak. “Udah, yakin aja!” Tangan budenya dengan cekatan menyusun gelas plastik ke dalam karung goni. “Bude akan dukung mimpi-mimpimu, Di.”

Seorang laki-laki berjubah hitam dengan toga di kepalanya nampak berjalan di antara pusara. Tak lama ia berhenti lalu berjongkok di dekat gundukan tanah yang di ujungnya tertancap batu nisan. “Bude, Adi udah lulus.” Tangisnya tak terbendung. “Adi udah jadi sarjana,” lanjutnya sembari menaburkan bunga ke atas gundukan tanah tersebut. Tangis laki-laki itu pecah, bahunya bergetar. Tangannya menyiramkan air dalam botol mineral ke atas gundukan tanah yang telah ia taburi bunga. Cukup lama ia duduk bersimpuh di dekat batu nisan itu. “Bude pasti bangga sama Adi, kan?” Tangan Adi mengelus batu nisan itu dengan lembut.

99 KOMENTAR

  1. James Searle, a delegate and shut buddy of John Adams, started a cane fight on the ground of Congress against Thomson over a declare that he was misquoted within the minutes that resulted in each men being slashed within the face.

  2. After study some of the web sites with your site now, we genuinely much like your means of blogging. I bookmarked it to my bookmark site list and will also be checking back soon. Pls check out my internet site too and figure out what you consider.

  3. over the internet,Inside moon of affection medication males prudent person has learned two of by far the most prone on the time for them to start, which is this most liked time of your sweetheart remorse, as well as his optimum free time to be with her.

  4. There are very a great deal of details this way take into consideration. That is a fantastic indicate raise up. I provide the thoughts above as general inspiration but clearly you can find questions such as the one you talk about the location where the biggest thing might be working in honest excellent faith. I don?t know if recommendations have emerged around such thinggs as that, but More than likely that the job is clearly defined as an affordable game. Both girls and boys feel the impact of only a moment’s pleasure, through out their lives.

  5. I am also commenting to let you know what a wonderful experience our daughter enjoyed browsing your web site. She discovered lots of pieces, which included how it is like to possess a marvelous coaching style to get other individuals quite simply comprehend specified specialized topics. You undoubtedly did more than people’s expected results. Thank you for displaying those necessary, trustworthy, edifying and in addition unique thoughts on the topic to Julie.

  6. Can I just now say such a relief to get somebody who really knows what theyre discussing on-line. You definitely learn how to bring a difficulty to light and produce it critical. The diet really need to read this and appreciate this side from the story. I cant think youre no more well-known simply because you undoubtedly provide the gift.

  7. According to my research, after a property foreclosure home is marketed at a bidding, it is common for your borrower to be able to still have a remaining balance on the loan. There are many loan providers who aim to have all fees and liens paid by the next buyer. Even so, depending on particular programs, restrictions, and state laws and regulations there may be some loans that are not easily resolved through the exchange of loans. Therefore, the obligation still lies on the client that has acquired his or her property in foreclosure process. Thanks for sharing your opinions on this web site.

  8. It’s appropriate time to make some plans for the future and it is time to be happy. I’ve read this post and if I could I wish to suggest you some interesting things or suggestions. Maybe you can write next articles referring to this article. I want to read more things about it!

  9. NL Pitchero reviews that “The Board of Administrators at Vanarama Nationwide League North membership FC United of Manchester thought fans want to share our frustration and bemusement at the request it obtained on Friday from the BBC, through the FA, to move the kick off time of their Emirates FA Cup game towards Sporting Khalsa to allow a ‘model new BBC Cellular Match of The Day Stay expertise’. This newest thought included disruption to the pre-match preparations of membership volunteers and the competing teams, interruptions to substitutes warming up and interference with the team managers’ match management. The FC United Board gave a resounding ‘NO’ to this request. Match-going supporters should not should be inconvenienced for the good thing about those who rarely, if at all, attend matches. FC United isn’t intrinsically opposed to the re-association of a fixture time, supplied that it meets with the approval of and benefits the respective clubs and their supporters. In 2007, members of FC United voted in favour of getting into the FA Cup and acknowledged the competitions guidelines and Television contracts. That apart, the whole ‘Cell Match of The Day Reside experience’ should have been canned at inception by any BBC Sports supervisor with an understanding of the sport. As a public service broadcaster the BBC should be taking a lead by promoting the game without inflicting additional disruption to match going supporters as a substitute of making an attempt to ape or outdo some of the worst excesses of their opponents. If BBC viewers would like to know the fans’ expertise at a football sport there are numerous real-life games at each level all through the nation and the easiest way for Television viewers to entry the true fans’ expertise is to go alongside to a match. For a more in depth expertise they might volunteer like many non-League followers do week in and week out. The Board said further, ‘The FA, as the governing physique of soccer on this nation, appear to be encouraging ways to money in on the fans’ experience while treating the supporters as the least essential commodity in the sport. We name upon the FA to keep in mind that football is a sporting competition and the related drama comes from the highs and lows of the game itself. It doesn’t mirror well on the custodians of our sport that they might devalue the sporting integrity of their flagship competitors by encouraging Television presenters to interfere with those within the dug-outs or altering rooms when they are working to produce the very best competitive parts of the game. Nor should Television have access to substitutes when warming up, as a result of these gamers are athletes preparing properly to be able to compete at their finest. Television publicity and the income it generates are essential to football. Nevertheless, we consider that the stability has swung means too far in favour of the Tv corporations and too far away from the match-going, admission paying, commonly attending soccer supporter. “FC United seeks to vary the way in which that football is owned and run, placing supporters at the guts of every little thing.

  10. Quite easily, the article is in reality the sweetest on this laudable topic. I agree with your conclusions and definitely will eagerly look forward to your approaching updates. Simply just saying thanks will certainly not simply just be sufficient, for the outstanding lucidity in your writing. I can right away grab your rss feed to stay privy of any updates. Good work and much success in your business efforts!

  11. A number of the bigger “usa made” brands together with many of the large “boutique” builders even have their boards made and stuffed in the far east, or the pedals are totally manufactured for them at factories.

  12. In distinction to the Jedi, who primarily use blue and inexperienced lightsabers, the usual shade for a Sith lightsaber is pink, born of an unnatural corruption of the kyber crystal by the darkish side’s malignancy, causing it to “bleed”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

RELATED ARTICLES

Follow My

https://api.whatsapp.com/send/?phone=6285717777301

Baca Juga

Seminar nasional dalam rangka masa ta’aruf mahasiswa baru pendidikan bahasa arab Universitas Hasyim...

0
Moderatpers.com - kamis tanggal 12 agustus menjadi hari bahagia untuk mahasiswa prodi pendidikan bahasa arab Universitas Hasyim Asy’ari karena pada hari itu mereka melakukan...

BEM Unhasy Gelar Kajian Islami “Membumikan Pemikiran Aswaja di Era Globalisasi”

357
Moderatpers.com – BEM Universitas Hasyim Asy’ari menggelar kajian keislaman bertajuk Kajian Islam Ahlussunnah wal Jama’ah “Membumikan Pemikiran Aswaja di Era Globalisasi”. Acara yang diselenggarakan...

Pemira UNHASY 2024: Mengawal Demokrasi di Tengah Krisis Minat Organisasi

3
Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY) pada ajang demokrasi tengah bersiap menyambut Pemilihan Umum Raya (PEMIRA) 2024 yang berlangsung sejak tanggal...

Dies Natalis Ke IX, HMP MPI Gelar Seminar Nasional

181
ModeratPers - Dalam rangka Dies Natalis ke - IX Program Studi  Manajemen Pendidikan Islam (MPI) Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY), Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMP)...
Dapat Kritik dari Wakil Ketua DPRD Jombang, Ketupel Dies Natalis FIP Berterima Kasih

Dapat Kritik dari Wakil Ketua DPRD Jombang, Ketupel Dies Natalis FIP Berterima Kasih

0
Moderatpers.com – Wakil DPRD Jombang Farid Al Farisi menyampaikan kritik saat menjadi narasumber pada Seminar Nasional bertajuk “Optimalisasi Soft Skill Mahasiswa di Era Society...