
Pada saat ini perkembangan teknologi digital mengubah cara dakwah seseorang. Dulu dakwah lebih banyak disampaikan langsung di masjid atau majelis taklim, saat ini dakwah banyak disampaikan melalui media sosial seperti YouTube, Instagram, hingga TikTok.
Perubahan ini menuntut para dai untuk mampu menyesuaikan diri dengan platform digital dan karakter audiens. Bagaimana tantangan psikologis yang dihadapi para dai di era digital, serta strategi komunikasi apa yang bisa mereka gunakan agar dakwah tetap efektif. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan dakwah melalui media digital sangat dipengaruhi oleh kemampuan dai dalam memahami kondisi psikologis audiens, mengelola tekanan sosial, dan membangun komunikasi yang empatik dan relevan.
Teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih membawa banyak perubahan dalam kehidupan, termasuk dalam urusan keagamaan. Dakwah—yang selama ini identik dengan ceramah langsung di masjid—sekarang makin banyak dilakukan secara online lewat berbagai media sosial.
Hal ini memang membuka peluang besar, tapi juga menghadirkan tantangan baru, terutama bagi para dai yang harus menghadapi dinamika baru dalam menyampaikan pesan-pesan Islam.
Dakwah melalui digital bukan hanya soal memindahkan isi ceramah ke internet, tapi juga menyesuaikan gaya bicara, pendekatan, dan cara menyentuh hati masyarakat yang kini hidup dalam dunia digital yang serba cepat dan penuh distraksi.
Karena itu, penting untuk melihat bagaimana kondisi psikologis para dai dan strategi komunikasi apa yang bisa mereka gunakan agar pesan dakwah tetap mengena dan bermanfaat.
Adapun Tantangan Psikologis Dakwah di Era Digital
1. Tekanan Psikologis dan Kelelahan Mental.
Dai yang aktif di media sosial sering merasa tertekan karena harus terus hadir, update konten, dan menjaga eksistensi di berbagai platform. Perkembangan media sosial juga menuntut mereka untuk terus aktif agar tidak kehilangan perhatian audiens. Jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa menyebabkan kelelahan mental, stres, dll.
2. Kritik dan Ujaran Kebencian
Berbeda dengan dakwah langsung, di dunia digital semua orang bisa bebas berkomentar. Dai bisa saja mendapat komentar yang negatif, sinis, bahkan ujaran kebencian. Jika tidak kuat mental, hal ini bisa sangat mempengaruhi kondisi psikologis mereka.
3. Krisis Otoritas Keagamaan
Sekarang siapa pun bisa menjadi “ustadz digital” hanya dengan modal kamera dan koneksi internet. Ini membuat masyarakat kadang bingung membedakan mana dai yang punya kapasitas keilmuan dan mana yang hanya populer karena penampilannya. Dai yang benar-benar kompeten sering kali kalah dalam hal popularitas dibanding mereka yang lebih menarik secara visual atau gaya bicara.
Strategi Komunikasi Dakwah Digital: Perspektif Psikologi
1. Mengenal Audiens dengan Baik
Setiap platform digital punya pengguna dengan karakter berbeda. Misalnya, audiens TikTok lebih suka konten pendek dan ringan, sementara YouTube cocok untuk kajian yang lebih mendalam. Dai perlu memahami siapa yang menonton mereka, lalu menyesuaikan cara penyampaian agar dakwah lebih tepat sasaran.
2. Membangun Empati dan Koneksi Emosional.
Dakwah yang baik bukan hanya menyampaikan ilmu, tapi juga menyentuh hati. Ketika dai mampu memahami keresahan, kondisi batin, dan kebutuhan psikologis audiensnya, pesan dakwah akan lebih mudah diterima. Sikap empati membuat audiens merasa dihargai dan didengar.
3. Menggunakan Cerita dan Visual
Orang lebih mudah mengingat cerita daripada teori. Cerita nyata, pengalaman pribadi, atau analogi sederhana bisa membuat dakwah lebih hidup dan menyentuh. Tambahan visual seperti gambar atau video juga bisa memperkuat penyampaian pesan.
4. Menjaga Konsistensi dan Keaslian
Di dunia digital, orang cenderung menghargai keaslian. Dai yang tampil apa adanya, konsisten dalam ucapan dan tindakan, serta tidak dibuat-buat, akan lebih mudah mendapatkan kepercayaan dari audiens. Ini jauh lebih kuat daripada sekadar viral sesaat.
Dakwah di era digital menawarkan banyak peluang, tetapi juga membawa tantangan yang tidak ringan. Para dai dituntut untuk siap secara mental dan emosional menghadapi tekanan digital, mulai dari tuntutan tampil terus-menerus, kritik dari netizen, hingga persaingan dengan tokoh-tokoh yang belum tentu otoritatif. Untuk itu, diperlukan pendekatan komunikasi yang cerdas dan empatik—yang paham psikologi audiens, mampu membangun koneksi emosional, dan tetap otentik. Ke depan, sinergi antara ilmu psikologi dan ilmu dakwah sangat penting untuk mencetak dai yang bukan hanya pintar bicara, tetapi juga mampu membimbing umat secara emosional dan spiritual di tengah derasnya arus digital.
Oleh : :M Haikal Dzlikru Kholila