Beranda UNEK-UNEK Artikel Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Anak Dan Remaja

Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Anak Dan Remaja

0
Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Anak Dan Remaja

Perkembangan jiwa keagamaan adalah salah satu dimensi penting dalam pembentukan karakter dan identitas individu. Proses ini dimulai sejak usia dini, di mana anak-anak mulai menyerap nilai-nilai spiritual dan moral dari lingkungan sekitar, yang kemudian mengalami transformasi seiring dengan pertumbuhan kognitif dan sosial mereka. Memahami tahapan perkembangan ini sangat krusial bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat untuk dapat memberikan bimbingan yang tepat dan mendukung pertumbuhan spiritual yang sehat.

Dan anak juga mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan sifat kebaikannya.

Tidak adanya perhatian terhadap Tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang disekitarnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tumbuh.

Perasaan seorang anak terhadap orangtuanya sebenarnya sangat kompleks. Merupakan campuran dari bermacam-macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun, yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut, dan cinta kepadanya secara sekaligus, maka anak mulai membuat konsep yang sangat sederhana tentang siapa Tuhan.

Menurut Zakiah Darajat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap Tuhan pada dasarnya negatif. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan. Sedangkan gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tetapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orangtua anak mendidiknya supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan.

Namun pada masa kedua (7 tahun keatas) perasaan anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman. Adapun faktor-faktor yang dominan dalam perkembangan jiwa keagamaan anak yaitu:

Rasa ketergantungan

Teori ini dikemukakan oleh Thomas dalam teori Faur Wishes. Menurutnya manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan, yaitu keinginan untuk perlindungan, keinginan akan pengalaman baru, keinginan untuk mendapat tanggapan, dan keinginan untuk dikenal. Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman pengalaman yang diterimanya dari lingkungannya kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada anak.

Insting Keagamaan

Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa insting. Diantaranya adalah insting keagamaan. Belum terlihatnya perilaku keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya insting itu belum sempurna. Dengan demikian, isi, warna, dan corak perkembangan keberagamaan anak sangat dipengaruhi oleh keimanan, sikap, dan tingkah laku keagamaan.

Dan  ketika kita juga memahami konsep keagamaan pada anak, berarti memahami sifat keagamaan pada diri mereka. Ketaatan anak kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari orang tua dan guru mereka. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut. Dalam pembinaan agama pada pribadi anak sangat diperlukan pembiasaan dan latihan-latihan yang cocok dan sesuai dengan fase perkembangan jiwanya. Karena latihan dan pembiasaan akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang secara bertahap sikap tersebut akan bertambah jelas dan kuat dan akhirnya tidak akan tergoyahkan lagi, karena telah terintegrasi dalam kepribadiannya. Secara rinci, pembinaan agama pada anak yang sesuai dengan sifat keberagamaan anak dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan berikut:

Pembinaan agama dengan lebih menekankan pada pengalaman langsung, misalnya shalat berjamaah, zakat, sedekah, silaturahmi, atau kegiatan lainnya yang bisa diikuti anak.

Melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang disesuaikan dengan kesenangan anak, menyesuaikan dengan sifat keagamaan anak yang masih egosentris.

Pengalaman keagamaan anak selain diperoleh dari orangtua, guru, atau teman-temannya, juga mereka peroleh dari lingkungan sekitarnya yang secara tidak langsung telah mengajarkan pola-pola hidup beragama

Pembinaan agama pada anak juga perlu dilakukan secara berulang-ulang melalui ucapan yang jelas serta tindakan secara langsung. Seperti mengajari anak shalat, maka lebih dahulu diajarkan tentang hafalan bacaan shalat secara berulang-ulang sehingga hafal sekaligus diiringi dengan tindakan shalat secara langsung dan akan lebih menarik jika dilakukan bersama-sama dengan teman-temannya.

Setelah anak hafal bacaan shalat dan gerakannya, maka seiring bertambahnya usia, pengalaman, dan pengetahuannya baru dijelaskan tentang syarat, rukun serta hikmah shalat. Demikian juga pada materi-materi pembinaan agama lainnya.

Mengingat sifat agama anak masih meniru  pemberian contoh nyata dari orangtua, guru, dan masyarakat di lingkungan sekitarnya sangatlah penting. Untuk itu dalam proses pembinaan tersebut perilaku orangtua maupun guru harus benar-benar dapat dicontoh anak baik secara lisan maupun tindakan.

Melaui kunjungan langsung di pusat-pusat kegiatan keagamaan, misalnya kunjungan ke pesantren, panti asuhan, atau wisata religi. Selain itu audio visual juga bisa digunakan untuk menambah pengetahuan dan wawasan anak. Dengan demikian, penanaman agama pada anak dimulai dengan contoh tindakan secara langsung atau melalui kunjungan dan pembauran dengan masyarakat sekitarnya dalam kegiatan keagamaan akan dapat mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan anak.

Perkembangan Jiwa Agama Remaja

Masa Pra-Remaja (usia 13-16 tahun)

Perkembangan jiwa agama pada masa ini bersifat berurutan mengikuti sikap keberagamaan orang-orang yang ada disekitarnya. Secara singkat, perkembangan jiwa agama anak-anak remaja di usia ini,

Masa Remaja Awal (usia 16-18 tahun)

Perkembangan jiwa agama pada usia ini adalah menerima ajaran dan perilaku agama dengan dilandasi kepercayaan

Masa Remaja Akhir (usia 18-21 tahun)

Perkembangan jiwa agama pada usia ini ibarat grafik yang bukan semakin naik justru semakin menurun apabila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Jiwa agama remaja akhir semakin menurun dipengaruhi oleh dorongan seksual yang kuat dari dalam diri mereka dan belum ada kesempatan untuk menyalurkannya ditambah dengan rasionalisasi ajaran agama yang semakin kuat serta realitas kehidupan masyarakat sekitarnya yang sering bertentangan dengan norma-norma agama. Kondisi tersebut menyebabkan jiwa agama yang sudah dipupuk sejak kecil akan mengalami penurunan.

Karakteristik Jiwa Agama Pada Remaja

Terkait dengan masalah ini, Dr. Al-Malighy dalam salah satu laporan hasil penelitianya menemukan keraguan remaja dalam beragama cenderung terjadi pada usia 17-20 tahun.

Beberapa karakteristik perkembangan jiwa keagamaan remaja akhir :

Percaya terhadap kebenaran agama tetapi penuh keraguan dan kebimbangan, Keyakinan dalam beragama lebih dipengaruhi oleh faktor rasional daripada emosional.

Pada masa ini mereka merasa mendapatkan kesempatan untuk mengkritik, menerima, atau menolak ajaran agama yang sudah diterima sejak kecil. Keraguan jiwa agama remaja semakin memuncak ketika memasuki usia 21 tahun. Pada usia akhir remaja, seseorang cenderung semakin tidak percaya sama sekali (mengalami peralihan) terhadap Tuhan maupun ajaran agama yang diyakini sebelumnya. Hal itu ditandai dengan:

Mengingkari terhadap Tuhan dan ingin mencoba mencari kepercayaan lain, tetapi hati kecilnya menolak dan masih percaya pada Tuhan yang sudah diyakini sebelumnya.

Jika pada usia sebelumnya, remaja tidak mendapatkan pondasi agama yang kuat maka bisa mengarah pada perilaku atheis (menafikan Tuhan)

Pembinaan Agama Pada Remaja

Semua perubahan fisik yang begitu cepat pada masa remaja akan menimbulkan kecemasan pada diri mereka, sehingga menyebabkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan keyakinan terhadap agama yang sudah dipupuk dari kecil juga dimungkinkan akan mengalami peperubahan, karena mereka kecewa terhadap diri mereka sendiri dan lingkungan sekitarnya yang sering melanggar norma-norma agama.

Kepercayaan remaja terhadap Tuhan kadang menguat dan kadang menjadi ragu dan berkurang, hal ini bisa dilihat dalam aktivitas ibadah mereka yang terkadang sangat rajin dan terkadang bermalas-malasan atau bahkan meninggalkan sama sekali. Perasaan mereka kepada Tuhan sangat tergantung pada kondisi emosi mereka, terkadang mereka merasa sangat butuh sekali kepada Tuhan terutama ketika berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan, misalnya ketika takut akan kegagalan atau takut akan akibat dari dosa-dosa.

Oleh : Wafi ( Mahasiswa KPI UNHASY )

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here