spot_imgspot_imgspot_img
Rabu, Februari 5, 2025
spot_imgspot_imgspot_img
BerandaUNEK-UNEKOpiniJangan Asal Menjadi “Tokoh” Agama

Jangan Asal Menjadi “Tokoh” Agama

Belakangan ini publik tanah air diramaikan oleh tindakan salah seorang tokoh agama sekaligus publik figur – sebut saja “Gus” Miftah, yang menghina pedagang es teh dengan melontarkan kata-kata kasar di sebuah acara pengajian. Sebuah hal yang ironis tentunya, karena pelaku adalah representatif dari ajaran agama yang penuh dengan nilai-nilai toleransi dan humanisme yang idealnya menjadi teladan bagi khalayak. Ia juga merangkap sebagai figur governmental yang dalam teknisnya melaksanakan kebijakan berdasarkan aspirasi rakyat yang notabene merupakan strata ekonomi kelas bawah.

Di satu sisi, bapak penjual es teh adalah contoh produk sosial atas ketidakbecusan pemerintah dalam memberantas kemiskinan di Indonesia. Kesehariannya mencari nafkah dengan berdagang guna memenuhi kebutuhan anak-isterinya, justru diolok-olok oleh figur yang seharusnya memiliki otoritas untuk memberdayakan kondisi semacam itu.

Melalui peristiwa itulah, kita seperti disuguhkan akan superioritas orang-orang yang punya kuasa terhadap kaum terpinggirkan (marjinal/duafa) dengan menunjukkan perilaku yang sewenang-wenang. Sosok yang diharapkan bisa mendorong ghirah masyarakat dalam berkehidupan, justru sebaliknya menunjukkan perilaku yang dianggap tidak etis, sehingga berpotensi mendegradasi nilai-nilai sosial serta dapat memicu konflik dalam masyarakat.

Tanggung Jawab Moral Seorang Tokoh Agama

Ebrahim Moosa dalam bukunya berjudul “The Moral Economy of the Madrasa: Islam and Education Today” menekankan bahwa seorang pemuka agama memiliki tanggung jawab moral dalam membimbing umat tidak hanya dari segi religiusitas saja, namun juga sebagai agen kohesi dan perubahan sosial dalam masyarakat terutama dalam memperjuangkan keadilan. Aspek-aspek seperti pemahaman etika dan moralitas, kompetensi komunikasi, dan kesadaran sosiokultural menjadi poin yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja oleh para pemuka agama.

Pemahaman etika dan moralitas menjadi landasan dalam upaya memanusiakan manusia seperti yang dilakukan oleh Gusdur dalam sepak terjangnya mewujudkan islam yang rahmatan lil ‘alamin. Sedangkan, kompetensi komunikasi hadir untuk menjaga koridor dalam menyampaikan pesan agama dengan cara yang inklusif dan konstruktif yang mana dapat meminimalisir munculnya misinterpretasi publik pada narasi-narasi agama yang disampaikan. Dan yang terakhir, kesadaran sosiokultural sebagai acuan dalam memperjuangkan keadilan umat, baik itu sebagai penghubung antara nilai-nilai tradisional dan kebutuhan modernitas, terlebih dalam menghadapi tantangan yang dihadapi kaum marjinal.

Ihwal semacam inilah yang perlu dimaknai lebih dalam dan kemudian diimplementasikan secara kontinu oleh para pemuka agama ataupun kader-kader tokoh di masa mendatang. Sebagai salah satu bentuk riil dalam menyongsong stabilitas sosial ke arah yang lebih baik melalui penerapan nilai-nilai agama yang diajarkan. Mengingat peran agama dalam struktur sosial yaitu sebagai elemen yang berfungsi untuk menciptakan integrasi sosial – yang mana dalam konteks ini perannya diwakili oleh pemuka agama, dan apabila tokoh agama bertindak sewenang-wenang dan merendahkan, maka hal tersebut berpotensi menimbulkan konflik sosial yang jelas bertentangan dengan esensi agama sebagai perekat masyarakat.

Peluang Menciptakan Konflik Sosial

Ketika tokoh agama sudah tak merepresentasikan nilai-nilai agama yang disyiarkannya, contohnya berperilaku non-etis seperti yang telah disinggung diatas. Maka hal itu dapat menyebabkan konflik dalam masyarakat. Merujuk pada Lewis A. Coser dalam “The Function of Sosial Conflict” (1956), Ia menyatakan bahwa konflik adalah perjuangan atas nilai atau klaim status yang dapat merusak harmoni sosial. Dalam konteks agama, baik tindakan maupun perilaku non-etis dapat meningkatkan ketegangan antar kelompok, memperburuk stratifikasi sosial, dan menggerus kepercayaan publik terhadap institusi agama.

Hal ini barang tentu permasalahan yang tidak bisa dianggap remeh, pasalnya problematika serupa sudah seperti makanan sehari-hari di Indonesia. Apabila kita sekilas mengulik salah satu konflik berbasis agama terbesar di tanah air, yaitu Konflik Poso pada 2007 silam. Selain faktor ekonomi yang menjadi hulu dari peristiwa berdarah yang melibatkan umat Kristen dengan umat Islam, retorika tokoh agama lokal turut memperparah segregasi agama di sana. Ketika retorika para tokoh agama justru berkontribusi terhadap polarisasi, walhasil konflik yang terjadi malah semakin meluas.

Mari beranggapan bilamana kasus seperti “Gus” Miftah terjadi lagi di kemudian hari. Korelasinya adalah perihal perkara yang ditakutkan semisal korban merupakan seorang non-muslim, otomatis animo masyarakat dalam merespon hal tersebut tidak terbatas pada isu kemanusiaan saja, namun juga melebar hingga isu agama yang disangkutpautkan. Proyeksi-proyeksi kebencian antar agama kian memanas seiring berjalannya waktu, potensi terjadinya konflik semakin membesar imbas sensitivitas tentang isu tersebut. Muaranya membuat kita berpikir bahwasanya kerukunan antar umat beragama di Indonesia jadi sebatas utopia.

Efek Domino

Tindakan non-etis bisa dikatakan sah-sah saja bagi orang pada umumnya. Meskipun perilaku demikian bertentangan dengan norma yang berlaku, selagi hal tersebut tidak membawa pengaruh buruk atau memberikan dampak pada komunitas secara signifikan dan jangka panjang. Akan tetapi, berbeda halnya jika pelaku merupakan individu yang memiliki status/kedudukan tertentu di masyarakat. Dalam konteks ini, tokoh agama memegang peran penting dalam struktur sosial sebagai figur dengan otoritas moral dan spiritual yang diakui. Mereka menjadi penghubung antara nilai-nilai agama dan dinamika masyarakat, dengan kapasitas untuk memengaruhi pandangan, keputusan, serta interaksi sosial baik dalam komunitas kecil maupun skala yang lebih luas.

Mengingat kapasitas seorang tokoh agama/publik figur di masyarakat, dampak yang dihasilkan dari tindakan non-etis “Gus” Miftah cukup luas. Pertama, dari perspektif individual, korban dapat mengalami trauma psikologis dan berisiko menumbuhkan stigma sosial. Individu tersebut tidak hanya merasa direndahkan (traumatis) tetapi juga kehilangan kepercayaan terhadap pemimpin agama sebagai pembawa pesan moral. Jika hal demikian dibiarkan atau bahkan dinormalisasi oleh masyarakat, maka merujuk pada A.B. Widyanta, Sosiolog Universitas Gadjah Mada dalam Suara.com, hal tersebut berkontribusi pada reproduksi stigma sosial, seperti stereotip tentang kemiskinan atau pekerjaan yang dianggap rendah dan menggerus kredibilitas institusi sosial – baca agama, ini berpotensi menciptakan ketegangan antar kelas sosial.

Kedua, secara kolektif, masyarakat luas akan bereaksi dengan solidaritas terhadap korban. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan tokoh agama berpotensi menciptakan polarisasi sosial. Ketidakpercayaan terhadap figur agama ini dapat meluas menjadi skeptisisme terhadap lembaga agama. Dalam waktu singkat, reputasi tokoh agama dapat terganggu, yang memengaruhi persepsi masyarakat terhadap mereka secara keseluruhan.

Dan yang terakhir, apabila kasus seperti tindakan atau perilaku kontroversial oleh tokoh agama terus-menerus terjadi di masyarakat, dampaknya bisa sangat merusak dalam jangka panjang. Kepercayaan terhadap institusi agama dapat terkikis, mengurangi legitimasi moralnya sebagai pilar sosial. Hal ini dapat memicu skeptisisme terhadap ajaran agama itu sendiri, terutama di kalangan generasi muda yang mencari konsistensi antara nilai-nilai moral dan teladan dari pemimpinnya. Selain itu, tindakan semacam ini berisiko menanamkan pelajaran moral yang negatif, di mana perilaku merendahkan atau diskriminatif dianggap wajar, mengakibatkan degradasi nilai sosial secara kolektif. Bahkan, konflik kecil yang muncul dapat berkembang menjadi polarisasi sosial, memperdalam perpecahan antar kelompok, dan menciptakan ketegangan yang sulit dipulihkan. Jika pola ini dibiarkan tanpa upaya koreksi, masyarakat dapat terjebak dalam siklus ketidakpercayaan dan disharmoni, yang berpotensi mengancam stabilitas sosial secara luas.

Sebagai tokoh agama, tanggung jawab moral untuk menjadi teladan bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. Tidak hanya tentang menyampaikan nilai-nilai religius, tetapi juga mempraktikkan etika yang mencerminkan nilai kemanusiaan dan keadilan. Saat perilaku mereka menyimpang dari harapan masyarakat, dampaknya jauh melampaui sekadar citra pribadi; kepercayaan publik terhadap institusi agama juga ikut terguncang, lebih-lebih jika berbicara efeknya pada generasi mendatang. Oleh karena itu, menjadi tokoh agama berarti memahami bahwa setiap kata dan tindakan memiliki konsekuensi sosial yang besar, sehingga kehati-hatian dan integritas adalah hal yang mutlak untuk menjaga harmoni masyarakat dan esensi agama itu sendiri.

Wallahu’alam

 

 

 

Oleh: Niam Haka

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

RELATED ARTICLES

Follow My

https://api.whatsapp.com/send/?phone=6285717777301

Baca Juga

Kajian Ramadhan HMP EKIS (Dok. Elfira )

HMP EKIS Gelar Buka Bersama Dan Kajian Ramadhan “Halal Enterpreunership”

16
ModeratPers - Himpunan Mahasiswa Prodi (HMP) Ekonomi Islam (EKIS) Universitas Hasyim Asy'ari (UNHASY) menggelar buka bersama dan kajian ramadhan, Kegiatan tersebut dilaksanakan di Lobby...

56 Tahun Peringatan Hari Kesehatan Nasional

0
Moderatpers.com - (12/11/2020 ) adalah Peringatan Hari kesehatan Nasional (HKN) yang ke 56. Hal ini merupakan momentum bangsa Indonesia untuk menyadari akan pentingnya pembangunan...

Resensi Buku Atomic Habits

21
Identitas Buku Judul Buku : Atomic Habits Perubahan Kecil Yang Memberikan Hasil Luar Biasa Nama Penulis : James Clear Tahun Terbit : 2019 Nama Penerbit : PT Gramedia...

Belajar Menulis Berita di Kelas Manis Bersama UKM FUM

0
Moderatpers.com - UKM Forum Unhasy Menulis (FUM) di kampus Unhasy yang diketuai oleh Nazzatus Zamani (red Naza) Bersama beberapa anggotanya melakukan pelatihan “cara menulis...

Unhasy dan UiTM Malaysia Gelar Webinar Internasional Bertajuk Kewirausahaan

175
Möderatpers.com – Rabu, (30/06), Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Hasyim Asy’ari (BEM-U) berkolaborasi dengan Majelis Perwakilan Pelajar Universiti Teknologi Mara Syah Alam (UiTM) Malaysia menyelenggarakan...