Karya: Hawayein
Aku terlahir dari sebuah keluarga yang berkecukupan. Untuk urusan makan sehari-hari, kami terbilang lebih beruntung daripada mereka yang makan dari sisa nasi di tong sampah. Namun demikian, aku kekurangan satu hal, perhatian orang tua. Bukan karena pekerjaan mereka yang sibuk melainkan karena cara mendidik mereka terhadapku. Aku terlahir sebagai anak pertama dan berkelamin laki-laki. Anak laki-laki tidak boleh manja apalagi merepotkan keluarga. Selagi mampu berjuang maka jangan meminta bantuan pada siapapun. Itu pesan Ayah. Aku hanya bisa mengangguk patuh. Terakhir kali aku bisa merasakan kasih sayang Ayah dan Ibu secara utuh adalah saat aku lulus sekolah dasar. Setelahnya, aku melanjutkan sekolahku di kampung sebelah bertepatan juga dengan kelahiran adikku.
Sejak saat itu aku jarang sekali di rumah. Setiap harinya setelah pulang sekolah aku bekerja menjadi buruh angkut barang sampai ke luar kota. Semuanya berlangsung selama tiga tahun. Namun ketika aku ingin melanjutkan sekolah lagi, Ayah menolak. Aku sangat bersedih. Akhirnya Ayah mengambil jalan tengah, aku akan sekolah di kota.
Waktu itu, aku ingin sekali memberontak agar aku tetap bisa bersekolah di kampung. Namun semua itu hanya terluapkan di hati. Ayahku bukan sembarang orang yang bisa dibantah ucapannya, apalagi berniat untuk mengubah keputusannya. Pada akhirnya aku benar-benar masuk sekolah asrama. Dengan menumpang kapal bermuatan barang, aku berangkat ditemani Ayah. Ibu tidak bisa mengantar karena menjaga adik terkecilku yang baru berumur empat bulan. Enam jam perjalanan kami tempuh di tengah laut lepas, lalu dilanjutkan perjalanan darat satu jam setengah. Dan di sinilah kami, di depan pagar sekolah asrama yang terletak di kota. Aku pun masuk dengan kesedihan mendalam. Aku berjalan di belakang Ayah sambil menatap punggungnya yang tampak gagah. Namun bagiku bukan itu yang terlihat.
Mungkin akan sulit bagiku untuk menatap punggung itu lagi.
Setelah berbincang beberapa waktu dengan petugas akhirnya Ayah keluar juga dari ruangan yang terlihat sangat sempit di mataku. Dengan wajah yang tak terbaca, Ayah mengajakku mampir ke salah satu warung makan di sekitar sana. Aku pun menyetujui tanpa bertanya apapun. Setibanya di sana Ayah langsung memesan makanan namun hanya satu porsi. Aku ingin bertanya namun urung karena sepertinya Ayah sedang memiliki masalah. Aku tak ingin menambah bebannya lagi.
Makanan dihadapanku telah kulahap habis dalam waktu lima menit. Dengan segera aku menghabiskan minuman yang disediakan. Kata Ayah, dia harus segera kembali dan ada beberapa hal yang harus dibicarakan padaku. Setelah mengelap sisa makanan di sekitar mulutku, Ayah memulai pembicaraan. Santai, jelas, dan langsung membuatku paham. Tidak ada yang ditutupi lagi. Dan tanpa terbendung lagi aku menangis tak rela. Sungguh, saat itu aku tak tahu raut wajah seperti apa yang tercetak di wajah Ayah. Bukan aku tak peduli namun air mata telah memburamkan pandanganku.
Kejadian tersebut telah berlalu dua bulan. Dan saat ini aku menatap iba pada diriku sendiri di cermin. Kurus dan tak terawat. Rambutku mulai memanjang hingga menciptakan poni seperti oppa Korea. Lagi, bajuku kumal karena memang tak pernah disetrika. Berbicara tentang fasilitas, segalanya terpenuhi seperti janji Ayah bulan lalu. Namun hal tersebut tak akan berlangsung lama. Tiga bulan, tidak ada perpanjangan waktu. Jadi menurutku, bukankah aku harus berlatih hidup seperti gelandangan?
Ayah telah membayar lunas biaya asramamu selama tiga bulan. Setelahnya, kau yang tentukan sendiri masa depanmu. Jika tidak sanggup kau boleh kembali ke rumah. Kebetulan juragan lele di desa kita sedang membutuhkan sopir untuk mengantar pesanan ke luar kota.
Pada akhirnya dengan berbekal keterampilan mengemudi ketika menjadi buruh angkut barang, aku menjadi sopir pribadi bapak kepala sekolah di tempatku belajar. Bahkan aku tinggal di rumah beliau. Ketika Ayah mendengar kabar ini, dia hanya tersenyum. Aku bisa merasakannya meski dari kejauhan.
“Baguslah.”
Satu kata itu cukup mewakili semuanya.
Tulisannya keren, sedihnya sampe sini